Jumat, 27 Februari 2009

KARYA SASTRA


JINGGA ITU WARNAKU
Art : PjG 66


Kisah ini mulai kutulis saat semua tak lagi mampu kusimpan sendiri dalam rongga-rongga otak jongkok ku yang mulai bising kini. Entah ini kisah yang keberapa kalinya, akupun tak mampu lagi untuk menghitungnya. Aku percaya setiap kita pasti pernah punya satu kisa terindah dalam hidup ini, hanya satu satu kali dan tak akan pernah terulang dilain waktu, walau sempat terjadi kisah-kisah yang lain aku yakin rasanya tak akan sama. Detak-detak nadikupun kian kurasakan lemah, entah karena sudah sampai waktuku untuk pulang keharibaannya ataukah kehancuran kisah indahku yang telah mematikan raga kumalku, resahku semakin mengelitik roh suci pemberian sang illahi untuk keluar dari jasad rapuh ini.
Haripun kian petang sang jingga warna idamanku, yang hadir dari bias sang mentari yang lelah bersinar kian memudar terlihat bahkan berkesan pekat hitam. Aku tak tahu harus berdiskusi dengan siapa lagi, semua manusia terasa menjadi musuh-musuhku kini. Sang sepipun terlalu lama memberi solusi. Terasa derap langkahku bagai digilir kematian, inikah yang namanya kerapuhan, segalanya terasa gampang hancur bahkan prinsip hidup yang selama ini menjadi senjata ampuhku untuk melawan kesepian kian tergoyahkan, semuanya seperti bermain dengan gelombang tanpa kemudi, hanya tersisa sebila papan sisa-sisa dari biduk retakku yang terakhir untuk bertahan. Semua kian terasa kosong sampai-sampai udarapun tak kurasa dalam tiap helaan nafasku.
Hidup bagai dikekang, terasa sempit. Kalaupun terlepas aku hanya bagaikan anak panah tanpa arah, menyusuri jalanan sempit sampai akhirnya jatuh terinjak kaki-kaki optimisme dan patah. Ku panggil dia Jingga. Aku mengenal dia lewat medium abstrak, tak pernah kusangkah sketsa wajah ayu yang sering kugores dibibir pantai benar-benar nyata adanya, berjalan dan hidup bersama imaji liarku. Walau tak sesempurna khayalan nakalku namun senyumannya sudahlah cukup untuk menjadikannya seorang Hawa tanpa cacat dimataku.semuanya berjalan sesuai dengan lembaran scenario takdir. Bertemu di bibir pantai Andalusia, menjalin kasih sampai akhirnya berdiri kokoh tembok keraton kasta menuliskan bait-bait perpisahan. “Kita hanyalah sebagian dari manusia yang kesakitan saat berbahagia, cinta tak punya mata hanya nyali, namun kita masih terlalu kecil untuk melawan sang suhu sakti yang telah berabad-abad tahun lalu mengoreskan manuskrip adat untuk keluargaku, aku mencintaimu dengan hati yang kuat, namun kelelahan bathinku telah menghisap semua air cintaku ditelaga hati ini. Biarkan aku pergi dengan tarian duka, tak usalah kau mengiringi apalagi sampai harus menangisi semuanya.”
Tak ada air mata apalagi sampai menangis, saat mulut sang pujaan berhenti berucap tentang perihnya perpisahan. Lakon hidupkupun seketika tak berbentuk, yang ada dihati hanyalah prasasti kepedihan yang tiada tara. Aku benci dengan semuanya yang telah begitu tega menutup mata hatinya untuk sekedar menoleh manatap wajahku. Kenangan tentang Jingga masih saja datang menemani malam-malam sepiku, begitu indah senyuman itu. Senyuman yang sempat membuat aku lupa kalau tak ada manusia yang sempurna didunia ini. Matanya yang hitam indah seakan terus megawasi kesendirian ini, jentik-jentik bulu matanya seperti mengoda rasa lupaku pada perih. Tawa-tawa kecil bagai membawa aku kembali pada masa kecil penuh bahagia. Jingga berat rasanya untuk kuterima semua yang terjadi, tak adakah lagi ruang ataupun celah

sempit untuk kulurkan tanganku sedetik saja menggenggam jemarimu seperti waktu-waktu kamarin? Inilah kelemahan manusia yang paling parah, tak pernah bisa mengembalikan waktu walau hanya sepersekian detik saja. Aku terdampar dipulau ragu, hanya tuhan yang tahu aku menangis dimalam setelah perpisahan itu.
Malam telah menyapa, bersama sejuta kerlap-kerlip punggawa kecilnya menghiasi dewi malam yang mengurai rambut indahnya, namun sayang sang panglima lembut tak mau datang menampakan cahayanya, kenapa mesti takut untuk keluar dari balik kabut tebal itu, aku tak akan menatap matamu dalam-dalam malam ini. Aku tak punya waktu untuk itu dan sejujurnya aku malu kalau engkau sampai tahu kalau aku telah berpisah dengan Jingga. Biarkan semuanya menjadi misteri. “setiap kita adalah sang duka, entah ada cinta ataupun tidak, kepedihan dan luka pasti juga akan menghampiri. Berarak-arak senyuman tanpa sang kekasih tercinta bagai menatap ratu tanpa mahkota kilauan, tak ada keindahan semua surga telah tergusur oleh amarah dan rasa benci.” Tolong beritahu kabar dari kekasihku yang tak termiliki, wahai angin malam. Aku merindukannya, merpati-merpati kecil ciumlah amis darahku yang terus mengalir dari lubang hatiku. Tak usalah kalian mengejek kerapuhanku.
Saat itu kurang dua hari, aku genap berusia 20 tahun. Bertemu dibibir pantai Andalusia saat dia sedang berlibur bersama keluarganya. Mataku sempat tak berkedip hampir tiga ratus enam puluh detik, tak pernah terbayangkan kalau perempuan yang selama ini hanya hidup dalamn angan-anganku ternyata benar-benar ada, bernafas mampu berbicara tak seperti fantasi bisuku selama ini. Gagap aku didepannya, sampai menghilang raga indah itu dari hadap mataku. Saat sadar penyesalanlah yang tertinggal, maki hatiku kenapa juga aku tak sempat berkenalan dengannya. Pertemuan pertama yang tanpa perkanalan itu terus memburu tidur malamku. Lepas empat bulan kemudian baru aku bertemu lagi denganya, disebuah balai budaya keraton sanjaya agung, semua berlalu tanpa saling mengenalkan diri. Aku masih terlalu takut berhadapan sendirian dengan sang bidadari yang selama ini hidup dalam ruang hatiku. Barulah dua minggu kemudian semua tentang dia menjadi jelas, saat itu ada pagelaran seni teater ditaman seni Puritan jaya. Sejuta cerita lucu indah terangkai disudut panggung kecil itu.
Semua berlalu bagai mimpi, sebuah keajaiban kontruksi daya khayal manusia terbukti mampu memberi rupa yang nyata. Inilah kekuatan mimpi memiliki dimensi mesterius yang tak bisa ditembus secara kasa mata. Lakon telah dipilih, pemain telah siap. Lembaran takdir mulai dibuka perlembar, tanpa pembatas bahkan tanpa alunan musik yang menjadikan latar cerita kian romantis untuk dibacakan. Diirirngi sekelompok pemain teater pemula kubuka dengan pelan sangat hati-hati story book ku yang mungil, bertepi kembang indah pehias keindahanya Jinggaku malam itu. “kenalkan namaku Aling.”
To Be Continue………….

Nantikan kelanjutan seru cerita ini diedisi ke-3..



PUISI
KECEWA


Aku telah dihianati oleh pemandanganku, Aku telah disakiti oleh janjiku, Aku telah didustai oleh kesetiaanku, Aku telah dikecewakan oleh masalahku, Aku telah dipecundangi oleh keteguhanku, Aku telah dicurangi oleh perasaanku, Aku telah dipatahi oleh semangatku, Aku telah dihancuri oleh keesaanku, Aku telah ditinggali oleh kejujuranku, Sakit dihati, pedih luka dihati… tetapi… Aku tidak menyerah pada kegagalanku, Aku sudah sadar dari mimpiku, dan Aku sudah hidip dalam kematianku,…..bayangan dirinya selalu hadir menjelma…menciptakan sekat dan dinding untuk memisah antara harapan dan yang nyata, Kini aku kau hilangkan dalam ingatanmu, sedangkan aku masih tergoda dengan kuatnya ingatan bersamamu dulu…karena… engkaulah yang mengawali aku tergoda… kekasih… Engkaulah yang menggoda, Rinduku setiap malam bersama hayalku yang ingin ku lukiskan agar Engkau tau.

Manado 18 Feb 2009
Adhiman. M . Sangadji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar