Senin, 16 Februari 2009

TOGAL SO MATI ?

TOGAL SO MATI ?

Oleh : M. Sofyan Husen

(Orang Kayoa)


Mundur dua tiga langka…….

Satu pengakuan……..

Dua kepastian

Tiga……

Meneruskan perjalanan………

Malam itu tifa ditabuh dengan semangatnya oleh sekelompok orang yang tidak masuk kategori pemuda lagi, irisan fiol, barisan manusia yang dengan gembira berjoget, komat-kamit menggelagar oleh komandor dengan berbagai bait puisi serta kata-kata bijak dan pantun keluar dari mulutnya sambil sesekali menghela napas. Bau keringat, parfum, debu akibat langkah dan hentakan kaki para pejoget mewarnai sabua yang panjangnya hampir 20-an meter dengan lebar kira-kira 4 depa. Sesekali musik dihentikan untuk melepas lelah dan diwaktu melepas lelah itu disuguhkan orson dan apang polote, andara, balapis, waji atau kue khas Maluku Utara lainnya bagi mereka yang berjoget. Musik atau pesta yang umumnya dikenal oleh tradisi orang di jajirah almuluk dengan sebutan pesta togal itu dilakukan sehubungan dengan hajatan (acara perkawinan) salah satu pejabat yang tinggal dibilangan Mangga Dua Ternate bagian selatan pada awal maret dua tahun lalu (2004).

Ada satu kejadian “menggelikan” waktu itu. Sebagaimana biasanya, sebelum mengadakan acara (pesta) maka sipembuat hajatan harus meminta surat izin atau minmal pemberitahuan secara resmi kepihak kepolisian. Maka diutuslah seorang kerabat dekat untuk mengurus surat izin pesta togal itu, tapi sesampai dikantor oleh aparat kepolisian dengan alasan menjelang Pemilu (saat itu sudah masuk minggu tenang) pesta itu tidak diijinkan oleh aparat, hampir saja hal yang sudah direncanakan itu tidak jadi dilaksanakan. Sang pejabat yang punya hajatan kemudian langsung turun tangan mendatangi, dan entah karena dia adalah pejabat atau karena para bapak-bapak di kepolisian memahami bahwa pesta togal adalah satu medium pemeliharaan tradisi, yang pasti pesta togal malam itu jadi dilaksanakan dan berahir pada jam 3 dini hari. Diantara para manusia yang berjibun melantai dikarenakan hipnotis musik togal itu termasuk saya.

Kejadian pesta togal wktu itu yang sudah samar-samar terdengar musiknya hari ini membekas dan membentuk kegelisahan dibenak saya. Kegelisahan saya yang Pertama, pesta togal yang dalam tangkapan inderawi saya adalah satu bentuk musik khas (dengan tifa dan fiol sebagai alat musik utamanya) oleh sebagian atau secara keseluruhan orang Maluku Utara dan biasanya menjadi acara puncak dalam setiap hajatan acara perkawinan misalnya) Dan selalu disuguhkan dengan gratis kalau hendak terlibatdidalamnya. Tapi coba anda amati apakah dalam tahun-tahun terahir ini masih ada tontonan gratis akan hal itu ? kalaupun ada sangatlah jarang. Pesta Togal atau musik sejenisnya sudah tersandra oleh gemerlapnya tarikan modernisasi. Tentunya ini masih perlu diperdebatkan. Hanya saja jikalau anda atau saya menyepakati bahwa standarisasi dari sesuatu yang dikatakan maju

adalah apabila sesuatu itu terkonstrukasi dalam jejaring kapitalisme maka Togal hari ini justeru masuk dalam lingkaran ini. Untuk menikmati togal, anda harus merogoh kocek anda sekitar dua puluh ribuan rupiah agar bisa membeli kaset dan CD yang dijual bebas dipasar Gamalama atau sekitaran Mini Market.

1 komentar:

  1. tidak salah jika keprihatinan akan matinya budaya lokal termasuk Togal mulai terasa, akan tetapi yang menjadi salah adalah jika kita membiarkan-Nya perlahan masuk kedalam Museum sejarah menjadi fosil. alhamdulilah torang di malang masih punya group togal. semoga tetap bertahan...itu tugas kita generasi muda.

    BalasHapus